Maafkan Kami Tetap Mengunyah Roti


ADAKAH yang lebih membuat perasaan kita tercekat daripada menyaksikan siaran televisi dari saluran CNN yang menggambarkan perempuan - perempuan antre jatah nasi putih untuk bocah - bocah mereka di tenda pengungsian di Tanah Air, sementara di hadapan kita, di belahan Bumi yang lain, makanan bermutu baik menunggu untuk disantap?

Adakah yang lebih memilukan hati daripada menyaksikan saudara - saudara kita di Indonesia mengangkut air berwarna kecoklatan ke tempat pengungsian untuk dijadikan air minum, sementara jauh dari Tanah Air, sari buah dan susu kotak kualitas nomor satu siap melengkapi menu empat sehat lima sempurna kita?

Tak ada yang dapat mengobati kemasygulan hati saat menyaksikan di televisi 
mayat - mayat korban bencana tsunami di Aceh bergelimpangan menyatu dengan lumpur dan puing bangunan, sementara di hadapan kita manusia - manusia cantik dan tampan berlalu lalang dengan pakaian hangat di musim dingin. Bayangan wajah berleler air mata dan ingus bocah lelaki yang kehilangan orangtuanya, yang disiarkan televisi berulang kali, tak kunjung terhapus dari benak pada saat kita hendak tidur di kamar hangat ber-heater.

Menyaksikan dari belahan dunia lain saudara se -Tanah Air- yang sebenarnya belum tentu kita kenal secara pribadi hilang dan tewas tersapu tsunami, sedangkan kita tak bisa menghindarkan diri dari kualitas hidup yang baik, menghadirkan sebuah perasaan asing rasa bersalah karena tak mampu berbuat apa - apa.

Tak berguna, itulah istilah yang tepat untuk menggambarkan perasaan terhadap diri sendiri, yang melanda sejumlah mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh studi di Groningen, Belanda, saat menyaksikan kondisi korban musibah tsunami di Aceh lewat televisi. Perasaan bersalah dan tak berguna itu muncul tanpa memerlukan ikatan emosional langsung dengan para korban bencana tsunami.

Mampu kuliah di luar negeri, apakah atas biaya sendiri atau beroleh beasiswa, merupakan keberuntungan yang tidak dimiliki semua anak muda di Indonesia. Namun, bagi beberapa mahasiswa Indonesia di Groningen, keberuntungan itu sama sekali tak ada artinya dibandingkan dengan perasaan tak berguna yang terus mendera, yang dari hari ke hari sejak tsunami melanda 26 Desember lalu terus mengakumulasi.

"BANYAK teman saya di Jakarta datang ke Aceh. Saya merasa saya sendirian yang tidak melakukan apa pun. Beberapa teman mengirim e-mail dan SMS kepada saya, mereka bilang mereka senang saya sudah tidak berada di Aceh saat bencana terjadi. Saya malah berpikir, seandainya saya bisa memilih, saya pilih berada di sana dan bisa melakukan sesuatu," kata Ali Aulia Ramly (29), mahasiswa program master Humanitarian Assistance Rijkuniversiteit Groningen (RuG), yang melewati beberapa bagian dari hidupnya di Aceh.

Seorang mahasiswa salah satu program master di RuG lainnya, yang juga seperti Ali menerima beasiswa Stuned dari Netherlands Education Center (NEC) Jakarta, tak kunjung berhenti menyerapahi keadaan.

"Saya sama sekali bukan hendak jadi koboi kesiangan. Saya cuma ingin hidup saya punya makna, enggak perlu untuk orang lain, minimal untuk diri saya sendiri. Di sini, apa yang saya lakukan? Saya cuma bisa nonton CNN sambil mengunyah roti. Siang hari, serat daging terselip di geraham saya saat korban tsunami di Aceh berebut mi instan. Bisa bayangin bagaimana tersiksanya saya?" tuturnya.

Beberapa penerima beasiswa Stuned di Belanda memang tidak bisa begitu saja pulang ke Indonesia (dan berangkat ke Aceh menjadi relawan bencana tsunami) karena kontrak dengan NEC tidak memungkinkan hal itu. "Saya malah meminta kantor tempat saya bekerja di Jakarta untuk memanggil saya pulang supaya ada alasan bagi saya untuk break (melanggar kontrak Stuned). Tetapi kantor saya tidak menyetujui ide itu," ujar mahasiswa itu.

Katakanlah, semua mahasiswa Indonesia yang sedang kuliah di luar negeri b
erbondong - bondong kembali ke Indonesia, berangkat ke Aceh, apakah itu mengubah keadaan? "Saya enggak harus mikirin itu. Saya cuma merasa, di saat Aceh dilanda musibah mengenaskan begitu, di sini saya enggak bisa memaknai hidup saya," jawabnya. Mahasiswa tersebut memiliki kenangan di beberapa wilayah di Pulau Weh. Sementara Ali adalah sedikit dari mahasiswa Indonesia di Groningen yang memiliki hubungan emosional langsung dengan kota Banda Aceh. Usia 2-6 tahun dihabiskan Ali di Banda Aceh.

Tahun 2001-2002 dia beberapa kali berkesempatan datang kembali ke Banda Aceh untuk memonitor program perlindungan, penanganan masalah psikososial, dan pendidikan anak korban konflik. Selanjutnya, selama satu setengah tahun (masa Cessation of Hostilities Agreement / CoHA, Darurat Militer I, Darurat Militer II, dan Darurat Sipil I), dia tinggal dan bekerja di Aceh. "Beberapa hari lalu seorang teman asal Aceh bercerita mengenai aktivis - aktivis yang hilang atau meninggal karena banjir tsunami. Mereka itu teman - teman dekat saya, orang-orang yang saya kenal. Itu membuat saya sedih, putus asa, merasa enggak berguna," kata Ali.

Sejauh ini tidak ada data pasti berapa mahasiswa Indonesia di Belanda yang memiliki keluarga yang menjadi korban. Sementara berdasarkan data Stuned, keluarga seorang penerima beasiswa Stuned 2004, Mustafa (Universiteit van Amsterdam), turut menjadi korban tsunami.

Di Groningen sendiri, di sela - sela perasaan tidak berguna itu, di antara perasaan bersalah atas kondisi hidup berkecukupan, sementara keadaan korban tsunami di Aceh jauh dari sebutan layak (bahkan ketika mereka telah menjadi mayat), mahasiswa Indonesia yang tergabung dalam Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Groningen menggelar aksi kemanusiaan penggalangan dana untuk korban tsunami di Aceh.

Penggalangan dana berlangsung empat hari, 10-13 Januari, dilakukan di muka Newscafe di Groetemarkt, pusat keramaian kota Groningen. Menurut rencana, seluruh dana yang terkumpul akan disumbangkan kepada korban tsunami di Aceh melalui Palang Merah Indonesia (PMI).

Aksi kemanusiaan tersebut ditutup dengan acara panggung terbuka "Indonesia Half-staff : A Night for Atjeh", yang diselenggarakan di depan Kantor Wali Kota (Stadhuis) Groningen, Kamis (13/1) malam. Pada acara itu, Wali Kota Groningen Jacques Wallage, 
Duta Besar RI untuk Belanda Muhammad Yusuf yang datang terlambat, serta Presiden RuG masing - masing memberikan sambutan dan dukungan atas aksi penggalangan dana kemanusiaan untuk korban tsunami yang diadakan mahasiswa Indonesia di Groningen.

Dana yang terkumpul 3.470,88 euro dan 8 dollar AS. Menurut Ketua Badan Pelaksana PPI Groningen Febdian Rusydi, jumlah itu di luar jumlah sumbangan PPI (seluruh) Belanda kepada korban tsunami Aceh, yang tercatat 1.600 euro dan telah disalurkan melalui "Pundi Amal SCTV", serta sumbangan pribadi mahasiswa - mahasiswa Indonesia dengan cara masing - masing.

"Banyak warga Belanda di Groningen yang bertanya kepada kami, 'mengapa kami harus menyumbang lagi kepada Anda, sedangkan kami sudah menyumbang ke Giro 555 (rekening amal untuk seluruh negara korban tsunami yang dikelola Pemerintah Belanda)?'. Kami jelaskan, donasi yang kami kumpulkan adalah spesifik untuk Aceh, yang butuh bantuan obat - obatan, makanan, pakaian, dan kebutuhan sehari - hari di tempat pengungsian," katanya.

"Kami akan salurkan hasil donasi ini ke PMI, yang kami percaya mampu menyalurkan dana yang terkumpul langsung kepada para korban. Sementara Giro 555 mungkin tidak bisa tersalur secepat itu karena biasanya bantuan dari pemerintah diserahkan melalui pemerintah, dan itu butuh waktu," papar Febdian.

Hasil aksi penggalangan dana sebanyak 3.470,88 euro dan 8 dollar AS bukanlah angka besar. Namun, di balik itu, sejumlah mahasiswa Indonesia telah berupaya melakukan hal terbaik yang dapat dilakukan saat ini, di tempat yang amat jauh dari Aceh. Era yang sedang disibukkan dengan penyusunan tesis masternya, Tanti, Aditya, Muti, dan beberapa mahasiswa Indonesia lainnya setiap hari selama empat hari itu, pukul 
10.00 - 17.00, berdiri menyodorkan kaleng donasi di sekitar Newscafe.

Gigitan suhu di bawah lima derajat Celsius dan terpaan angin buas Groningen tidak menyurutkan niat untuk bahu - membahu mengumpulkan sen demi sen sumbangan orang - orang yang berlalu lalang.

Posisi Indonesia pada peringkat kelima negara paling korup di dunia sempat berdampak pada aksi penggalangan dana di tengah keramaian itu. Seorang lelaki setengah baya menegaskan, dirinya sama sekali tidak percaya dana yang dikumpulkan akan sampai kepada korban tsunami di Aceh. Tanti membalas cercaan meneer Belanda itu dengan seulas senyum. "I'm afraid you're wrong," kata Tanti.

Dado yang sedang menghadapi ujian, Ita yang harus segera berangkat meneruskan kuliahnya di Swedia, Egi dan Vita yang dibebani setumpuk tugas kuliah, dan sejumlah mahasiswa Indonesia lainnya ambil bagian pada acara Indonesia Half-staff : A Night for Atjeh. Tari saman, yang dibawakan Ita dan kawan - kawan sebagai hasil latihan lima hari, malam itu membuat orang - orang yang berlalu lalang di sekitar panggung terbuka berhenti dan terpukau.

Malam belum tua, pukul 22.00, ketika lampu-lampu panggung dipadamkan saat acara Indonesia Half-staff : A Night for Atjeh itu usai. Langit malam Groningen untuk sementara cerah, menaburkan satu dua bintang. Sejumlah mahasiswa Indonesia, dan beberapa warga Indonesia yang telah lama bermukim di Groningen, larut dalam ria barang sekejap, mensyukuri rangkaian aksi kemanusiaan yang mereka nilai cukup sukses 
terlaksana.

Beberapa langkah beringsut menjauh dari keriaan itu, masih dengan kegelisahan yang sama, kegelisahan yang lahir dari rasa diri tak berguna. Esok pagi, saat menyantap roti berbalur selai kacang plus segelas susu kualitas nomor satu, CNN menemani sarapan dengan liputan masih seputar porak porandanya daerah yang diobrak - abrik tsunami. Hari - hari pun akan berlalu dengan takaran perasaan bersalah di hati tak berkurang barang secuil pun. Maafkan kami, Aceh, untuk tetap mengunyah roti. Seandainya kami punya pilihan lain.... 
 
(Ferry Irwanto, dari Groningen)

Sumber : 
http://www.kompas.com/kompas%2Dcetak/0501/18/ekonomi/1502769.htm

Comments

Popular posts from this blog

5 Unsur Penting Sales Letter

CONTOH MEKANISME PELAKSANAAN SUPPLIER AUDIT

Seperti Tong Kosong Berbunyi Nyaring... Itulah Minta Maaf Tak Disertai Tindakan