Paradoksi lulusan S2 dan S3 luar negeri.....Dosen


Daripada sepi, buat nambah bahan bengong.....( Keep silence, please.)



Kawan-kawan,

Saya adalah salah satu dari ratusan orang Indonesia tiap tahun yang dikirim dikirim ke Amerika utara dan Eropa buat menempuh S2 dan S3. Mereka berasal dari bermacam latar belakang pekerjaan mulai dosen (terutama), pegawai pemda, bea cukai, departemen sampai yang namanya wartawan. Dengan harapan setelah mereka lulus nanti memajukan dan merubah sistem di Indonesia. Tradisi mengirim belajar ke luar negeri bukan sekedar dimulai 2-3 tahun lalu, bahkan puluhan tahun yang lalu...bahkan sebelum merdeka dan sesudah merdeka banyak "embah-embah" kita yang sudah dikirim buat belajar ke Eropa dan Amerika. Sampai hari ini kita jumpai Asutralia, Amerika, Jepang, Belanda, Inggris, Jerman, Prancis dll menawarkan program beasiswa buat anak-anak Indonesia, entah yang namanya ADS/APS, Fullbright, Rockefeller, Stuned, Monbusho, chivening, DAAD, Edufrance dll, anak bangsa ini ribuan orang berebut dan sangat antusias untuk memperoleh beasiswa itu. Puluhan ribu orang sudah dikirim Eropa dan
Amerika buat belajar dan puluhan tahun sudah, bahkan tradisi itu sudah separo abad...kemajuan apa dan keberadaban apa yang sudah dicapai negara kita ??? 

Yang menjadi dosen, begitu mereka pulang dan kembali ke kampus, sudahkah kita lihat perubahan mendasar dan berkarakter di sudut-sudut kampus kita. Berubahkah dan iklim akademik kita di kampus, intenskah para dosen yang lulusan luar negeri itu meneliti, menghasilkan karya yang dibutuhkan masyarakat...minimal publikasi ilmiah yang dimuat di jurnal internasional ?, gak usah muluk-muluk minimal meneliti sajal lah. Ternyata tidak, sebagian kecil saja yang masih idealis mengaplikasikan ilmu, yang lain malahan bingung mau ngapain ? karena ilmu yang telah dia pelajari di luar negeri konon terlalu advance dan tidak ada infrastruktur yang mendukung di "kampus ndeso" itu. Lalu banting setirlah dosen-dosen kita itu; ada yang intens menjadi birokrat kampus, ada yang sibuk mengajar di banyak tempaat, ada yang lari ke luar negeri lagi dalam rangka posdoct, ada yang terpaksa resign dari kampusnya dan mencari pekerjaan di luar negeri karena ngeri melihat kenyataan. Ada yang sekolah lagi
dg alasan uang. Dosen saya dulu bilang...."saya pilih S3 ke negara X karena bisa saving uang" (sah-sah saja sih buaat masa depan kali yaa !?). Tapi masak tidak ingat dulu kita hanyalah mahasiswa kos kere yang tidak punya apa-apa yang tak tahu apa itu dolar apa itu euro, kadang harus menahan air mata karena tak tahu besok pasti lapar, uang dari ortu habis. Bukankah dosen adalah seorang pelukis di atas kanvas yang menentukan corak dan dinamika universitas. Kalau para dosen di Indonesia ini tidak jelas rencana strategis dan agendanya tidak jelas pula pola dan corak universitasnya. Berapa buah artikel ilmiah yang terpublikasi secara internasional dari kampus-kampus beken di Indonesia perbulan ? berapa sih pemikiran dan aksi konkret yang bisa diselesaikan atas sumbangan dunia kampus kita ?. Namun yang terjadi adalah kampus-kampus kita tambah mentereng dengan bangunan yang luxury, orang dari pelosok Klaten dan Garut akan terkesima melihatnya, tetapi jauh dari tradisi ilmiah yang
membanggakan.

Kalau begini caranya, sampai kapan dan kapan lagi universita-universitas di Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Budaya dan tradisi ilmiah tidak dilembagakan (apalagi dg solid). Wong, dosen-dosennya sendiri aja pada kebingungan gitu kok mau maju entah bingung meletakkan ilmunya atau bingung kok enak yaa di luar negeri uang lebih mudah berlipat-lipat. Belum lagi dosen-dosen yang bekerja di PTS yang was-was sewaktu-waktu bisa diberhentikan oleh universitasnya yang bersistemkan "kontraktor borongan" dan berasasken bisnis kalau ada mahasiswa ngajar kalau gak ada mahasiswa nganggur, kalau rasio dosen-mahasiswa kurang dari 1:15 maka sang dosen dipersilahken tidak bekerja alias minggat, duh ngeri sekali.

Atau saya menduga, jangan-jangan pemberian beasiswa itu dalam rangka menghasilkan master-master dan doktor-doktor lulusan luar negeri yang pintar tapi kurang cerdas menghadapi masalah dalam negeri (bahkan dalam negeri bidang ilmu masing-masing). Dibuatlah mereka belajar hal-hal yang advance dan canggih namun kembali tidak bisa berbuat banyak (sedikit saja bahkan tidak bisa apa-apa selain gelar). Sehingga universitas-universitas di Indonesia ini selalu left behind dan urutan bawah, bahkan di tingkat Asia selama kurun 10 tahun sangat sulit masuk papan tengah. Semakin banyak orang pintar tetapi tidak cerdas semakin turun kualitas pendidikan tinggi Indonesia. Dan semain Semakin banyak doktor di kampus kita semakin tidak ada dinamikanya justeru semakin sayup terdengar karena para dosen mencari kesempatan buat ke luar negeri lagi, kalau bisa ya mengajar ke Malaysia, Bruneai atau Singapura,lah. Kenapa tidak sekalian ke Saudi, Abu Dhabi, atau Kuwait, Hongkong atau Taiwan ?. Uang
menjadi alasan utama lagi-lagi tidak ingat dulu mereka tidak punya apa-apa.
Sehingga kampus-kampus kita tetap stagnan dalam hal tradisi ilmiah dan keilmuan, penemuan yang terlembagakan (bukan sekedar membuat LPM, lembaga penelitian dan pengabdian masyarakat) kuat. Mereka hanya menjadi jago kandang dan bangga dengan prestasi setelah mengalahkan universitas Cap Gajah Duduk, Universitas Jagoan Kampung Utara, Universitas Ngawen Lor.

Mari kita tanyakan motivasi mencari beasiswa ke luar negeri ? tanya kenapa ?!
Mohon maaf jika kurang berkenan atas tulisan saya di atas tetapi dalam rangka mendinamisasi dan mengkoreksi serta mengkritisi perjalanan saya sendiri, pencari beasiswa dan pendahulu-pendahulu kita agar kita mengambil pelajaran.

Best Regards,
Soleh Sugianto

Comments

Popular posts from this blog

5 Unsur Penting Sales Letter

CONTOH MEKANISME PELAKSANAAN SUPPLIER AUDIT

Seperti Tong Kosong Berbunyi Nyaring... Itulah Minta Maaf Tak Disertai Tindakan